PALOPO - Ibarat
drama tarik menarik kepentingan dalam kisruh Masjid Agung Luwu Palopo (MALP)
semakin seru dan menegangkan. Tim Pemkot Palopo pada Senin 13 Juni 2016
melempar bola panas yang mengarah pada Pengurus Yayasan MALP. Sertifikat Masjid
Agung konon dijadikan aset pribadi oleh KH Syarifuddin Daud dan kawan-kawan.
Dalam rilisnya, tim pemkot menengarai ada upaya secara sistematis pihak yayasan
untuk menguasai aset diatas lahan kompleks masjid tersebut. Drama ini semakin
kontroversial dengan dokumen-dokumen yang turut dilampirkan.
Haji
Jamal Dhara, SH Ketua seksi hukum dan advokasi pengurus masjid agung versi
yayasan menyebut jika kasus ini sebaiknya kurang elok jika terus menerus di
blow up di bulan suci Ramadan. “hargailah bulan suci Ramadan. Soal materi atau
pokok perkara bisa diperdebatkan di forum yang terhormat. Di pengadilan
misalnya daripada harus ribut-ribut berpolemik di koran. Ini sudah mengarah
pada pencemaran nama baik,” ujarnya meradang membaca tulisan di dua harian
lokal kota penghasil sagu ini. Ia lantas memperlihatkan sertifikat asli tanah
eks Golkar yang disorot oleh Tim Pemkot Palopo. Sertifikat tanah itu berlabel
“Tanah Wakaf” yang dikeluarkan Badan Pertanahan Nasional pada tanggal 28 Juni
2007.
“Sertifikat
ini adalah jawaban dari tuduhan itu. Jika ini tanah pribadi maka anda bisa
lihat sendiri di sertifikat ini atas nama siapa?,” tegasnya.
Walikota
Palopo HM Judas Amir saat konperensi pers beberapa waktu lalu mengatakan jika
pihaknya mencium aroma tidak beres dalam sewa menyewa diatas lahan masjid
Agung. “ada yang janggal dalam perjanjian sewa menyewa dan sudah ada surat
pembatalan dari notaris mereka sendiri Amiruddin Alie, SH terkait susunan
pengurus yayasan ,” ucap Judas saat itu.
Namun
Haji Jamal Dhara membantah sinyalemen walikota tersebut. Tidak ada pihak yang
menjadikan lahan mesjid ini sebagai milik pribadi itu hanya ketakutan walikota
saja. Dasarnya tidak ada, karena sertifikat tanah yang dimiliki yayasan tetap
bersifat kolektif kolegial, tiga nama yang ada dalam sertifikat mewakili ribuan
ummat muslim Luwu Raya. “Sertifikat ini yang mereka persoalkan adalah tanah
wakaf dan nadzir (penerima) adalah yayasan melalui tiga pengurusnya, ini clear,
jika pun tanah ini dimanfaatkan itu untuk keperluan ummat karena uangnya
dikelola yayasan melalui bendahara yayasan yang secara transparan diumumkan
setiap hari Jumat di Masjid Agung, kurang apa lagi?” tandasnya penuh semangat.
Secara
terpisah, Minggu malam lalu, 19/06, redaksi DETEKSI menghubungi mantan orang
nomor satu di kota Palopo yakni HPA Tenriadjeng yang kini meringkuk di LP
Gunung Sari Makassar. Ribut-ribut soal Masjid Agung rupanya sampai juga ke
telinga dia. Secara khusus ia menyampaikan permohonan maaf di bulan suci
ramadan ini bagi umat muslim Kota Palopo. Tenriadjeng mengatakan soal tanah
wakaf dari eks kantor Golkar menjadi aset Masjid Agung Luwu Palopo sudah
melalui prosedur yang benar. Dirinya selaku pembina Masjid Agung saat itu
menerima wakaf berupa tanah yang harus digunakan untuk keperluan umat muslim.
“waktu itu almarhum Yahya Saude menyerahkan pada saya selaku walikota yang juga
pembina Masjid Agung dan saksinya ada tiga orang. Itu sudah final, tidak bisa
diganggu gugat lagi, kalau ada yang gugat itu orang (maaf) baga,” terangnya. Tenriadjeng
menambahkan jika tanah diatas Masjid Agung diserahkan langsung pada yayasan
melalui dirinya selaku walikota saat itu.
“saya
sebagai dewan pembina Masjid Agung menerima dan saya anggap kebesaran hati kita
semua jika tidak usah lagi meributkan hal itu karena tanah itu milik publik
masyarakat Palopo khususnya dan Luwu umumnya,” ujar dia sembari memberi nasehat
pada kedua pihak yang bertikai.
Mengacu pada rebutan asset antara Kabupaten Luwu dan Pemkot Palopo pasca pemekaran Luwu Raya memang nama Masjid Agung masuk dalam zona aman karena keduanya baik Pemkab Luwu maupun Pemkot Palopo sudah tidak lagi mempermasalahkannya.
Namun
tidak ada angin, tidak ada hujan tiba-tiba muncul surat pembatalan atas surat
keterangan yang dibuat di jaman HPA Tenriajeng berkuasa yang akhirnya dicabut dan
dibatalkan. Sesuatu yang menurut beberapa kalangan dampaknya bisa meluas pada
aspek bisnis.
“ngeri
jika tiba-tiba lantaran sakit hati, surat keterangan dari lurah atau camat
dicabut begitu saja, misalnya perihal tempat usaha masyarakat. Ijin warung
makan saya dicabut padahal sudah pernah diberikan, ini soal aspek kepastian
hukum, dampaknya bisa meluas pada sektor bisnis,” ujar seorang pengusaha di
kawasan pasar niaga Palopo yang enggan dikorankan namanya.(Iccank/*)