OPINI: Ketika Sang Komandan Memilih Bertahan di Kapal Tua

Ketika Sang Komandan Memilih Bertahan di Kapal Tua
(Dedikasi untuk Syahrul Yasin Limpo)
oleh : Iccank Razcal

Banyak orang yang tidak habis pikir, mengapa Syahrul Yasin Limpo, Gubernur yang juga mantan Ketua DPD Partai Golkar Sulsel, terkesan membiarkan dirinya tetap bertahan di Partai Golkar, kapal tua yang kini ditinggalkan kolega dekatnya, satu per satu.
Rayuan maut para petinggi partai ia tampik secara halus. Terakhir, Surya Paloh sampai harus rela menginap 2 hari 2 malam di Makassar agar Syahrul Yasin Limpo mau ikut dengan dirinya ke Jakarta menjadi pejabat penting di Partai Nasdem. Bukan hanya Surya Paloh, petinggi Partai Perindo dan PAN konon juga pernah menawari ia jabatan strategis di partai masing-masing.
Tetapi Sang Komandan tetap tak bergeming, teguh bak batu karang, belum mau bersikap dan memilih untuk tetap berada diatas kapal tua itu. Meskipun di Partai Kuning ini Sang Komandan  juga ditawari jabatan yang tidak kalah bagusnya. Komandan memang kini jadi rebutan. Pesonanya pasca gagal dalam perebutan kursi pimpinan Partai Golkar bersama 5 calon lain tetap memancar bahkan semakin membuat aura kepemimpinannya memikat simpati para petinggi partai lain, diluar partai Golkar.

Syahrul Yasin Limpo menunjukkan bahwa dirinya adalah kelas negarawan sejati. Ia tentu banyak belajar dan menimba ilmu pada Jusuf Kalla, Sang Wapres yang juga hingga saat ini memilih tetap bertahan di kapal tua, yang angker itu. Memudarnya citra Partai Golkar tidak serta merta membuat kedua tokoh Sulsel ini lantas ikut angkat koper dan berganti kendaraan politik.
Agaknya, alasan Sang Komandan untuk tetap bertahan adalah pilihan paling bijaksana, logis dan masuk akal. Kekecewaan atas kegagalan ia saat bertarung dalam perebutan kursi Ketua Umum Partai beringin ini tidak ia lampiaskan secara frontal. Ada strategi lain, yang masih coba diterka-terka para pengamat dan koleganya. Syahrul percaya bahwa pesonanya tidak akan meredup bahkan ketika ia gagal jadi orang nomor satu di partainya. Konon, Presiden Jokowi pernah menawari jabatan khusus bagi dia, tapi ia pun masih berpikir. Ia masih fokus membenahi Sulawesi Selatan, dalam sisa masa jabatan dua tahun ke depan, meskipun sinyal untuk mengakhiri karier politik sebagai Ketua DPD Partai Golkar Sulsel telah ia sampaikan secara terbuka. Bahkan ketika Nurdin Halid ditunjuk sebagai Pelaksana Tugas sementara, SYL dengan santai dan legowo menerima pemberhentian dirinya.

"Yang penting adalah Partai Golkar tetap jalan dengan baik dan bisa berfungsi untuk rakyat. Jangan partai ini dipakai dagang-dagang, dipakai lobi-lobi," kata Syahrul suatu ketika.

Di depan mata, Pemilihan Gubernur Sulsel sudah tidak lama lagi. Persiapan Sang Komandan untuk estafet kepemimpinan semakin membuat dirinya berada dalam posisi dilematis. Adalah sang wakil, Agus Arifin Nu’mang yang konon ia restui untuk maju menggantikan dirinya. Namun dari pihak keluarga dekatnya, justru Ichsan Yasin Limpo juga berambisi menggantikan sang kakak. Kondisi ini membuat konstalasi politik Sulsel semakin hangat. Sebagai negarawan, lagi-lagi Sang Komandan  diuji untuk memperlihatkan kehebatan dalam berpolitik.

Sebenarnya skenario ke arah itu sudah ia siapkan. Step by step, jika tidak ada aral, langkah Sang Komandan menuju tugas baru sedang disusun rapi. Dalam benak kebanyakan orang, memilih pinangan Partai Nasdem adalah pilihan paling “mewah” mengingat partai ini sedang berada di puncak kekuasaan sebagai the ruling party. Namun, ada sesuatu yang masih mengganjal. Suksesi di Sulsel baginya harus ia kawal hingga tuntas. Juga demi meredam perpecahan antar keluarga, jika kelak, sang adik tetap ngotot maju sebagai calon gubernur.

Terakhir, perebutan kursi pimpinan di DPD Golkar Sulsel tidak lagi semeriah dulu. Sejak komandan memilih untuk tidak lagi mempertahankan jabatan ketua, dan sejak pindah perahunya kolega SYL dari partai Golkar ke partai lain, maka praktis kekuatan Partai Golkar Sulsel semakin berkurang. Golkar semakin berada di posisi sulit. Ini adalah bentuk perlawanan Syahrul dan koleganya pada partainya sendiri yang dianggap tidak adil saat Ketum Setya Novanto menyusun kabinet barunya. Padahal semua orang tahu, Sulsel adalah basis Golkar yang secara nasional paling solid. Golkar Sulsel ketika SYL dicederai maka tidak ada obat, mereka lebih memilih meninggalkan kapal ini satu persatu, dan ini yang sedang terjadi.

Menarik ditunggu dan dicermati ketika seorang Syahrul yang kini berada di simpang jalan, harus memutuskan kemana ia akan melangkah. Menerima tawaran Surya Paloh akan membuat dirinya dicap sebagai “penghianat” oleh Partai Golkar. Sementara jika terus bertahan, ia tetap tidak mendapat jabatan penting di partainya sendiri. Sekalipun duduk di kursi Dewan Pembina/Penasehat bagi dia, tidak cukup untuk membayar ketokohan dirinya. Sepertinya, kursi menteri adalah pilihan paling pas, meski Presiden Jokowi sendiri pernah memberi isyarat tentang itu, tetapi lagi-lagi, kendaraan politik dan timing untuk reshuffle kabinet sudah lewat waktunya. Yang ada sekarang, receh-receh politik yang sudah ia tampik satu persatu. Sisa satu lagi skenario, yang hanya SYL dan Tuhan yang tahu. Bahkan orang terdekatnya sekalipun belum ia sampaikan. Pilihan terakhir ini sesungguhnya masuk akal dan jawaban atas keresahan banyak orang, yang hingga kini masih bersimpati pada Sang Komandan. Apakah itu, mari kita tunggu. Wallahu ‘alam.
*) Penulis adalah pengamat masalah sosial politik, mantan broadcaster, berdomisili di Kota Palopo.


Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

Cerdas, Bersahaja dan Relijius

Cerdas, Bersahaja dan Relijius