CATATAN REDAKSI - Mutasi ala Judas Amir, Pembersihan Jelang Lebaran?

Mutasi atau reshuffle adalah hal biasa. Kebutuhan bagi pemimpin untuk menyegarkan suasana di lingkungan kerja, demi target pencapaian yang menurut sang pemimpin perlu untuk diraih. Mutasi bukan barang mainan yang jadi jurus maut manakala ada bawahan yang dianggap  “mbalelo” alias bandel. Inilah hari-hari dimana kita melihat pola penyegaran ala walikota kita selalu menjadi sorotan tajam. Entah karena pemilihan waktu yang dirasa kurang pas, mendekati hari raya dan dalam suasana bulan suci ramadan, adalah satu sisi atau aspek psikologis yang mungkin terabaikan. Lebaran adalah moment kita untuk berbahagia bersama keluarga dan kerabat. Aspek ini nampaknya lalai diperhitungkan oleh para penasehat dan lingkaran dalam walikota.

Aspek lain adalah kapasitas dan kapabilitas mereka yang mendapat promosi jabatan. Meski adalah hak prerogatif pemimpin untuk mengganti kabinetnya, mutasi adalah sarana pemilihan figur sesuai filosofi “the right man on the right place”. Memang untuk hal yang satu ini sangat subjektif, akan tetapi jika pemimpin tidak punya parameter dalam menilai dan menjatuhkan pilihan, maka kritikan akan bermuara pada faktor “like” and “dislike”. Suka atau tidak suka hanya ada pada kantong safari sang pemimpin. Banyak suara sumbang akan hal ini, tetapi kita harus objektif bahwa profesionalisme kinerja bawahan tidak berasal dari bisik-bisik tetangga atau gossip semata. Kerja bawahan yang terukur dapat dilihat dari skor atau nilai mereka dari berbagai aspek yang menjadi tolak ukur penilaian tadi.

Tetapi sudahlah. Kita harus positif thinking, ada hal lain yang amat urgent di kota Palopo untuk jadi bahan pemikiran kita bersama. Masalah jabatan adalah masalah rezeki, garis tangan yang sudah ditentukan dari Atas dan dari atasan. Masih tingginya angka pengangguran, meningkatnya kasus kriminalitas di kalangan remaja serta daya beli masyarakat kelas menengah bawah belum beranjak dari target pencapaian adalah hal lain yang (harusnya) jadi keprihatinan kita bersama. Kita harus bijak tanpa menghilangkan daya nalar dan kritis kita pada penguasa. Pun juga pemimpin harus siap menerima kritikan sepanjang itu masih dalam koridor demokrasi yang sehat.

Hikmah dari setiap mutasi yang dilakukan adalah bekerjalah maksimal, senangkanlah hati rakyat melalui kinerja yang pro masyarakat kelas bawah, orientasi “asal bapak senang” sudah selayaknya dikubur dalam-dalam. Budaya kerja profesional adalah bagaimana tetes keringat rakyat dibayar lewat prestasi dan melayani setulus hati. Birokrasi yang masih bermental inlander alias penjajah sangat tidak layak lagi untuk diteruskan. Jadilah birokrasi yang patuh pada aturan bukan pada atasan. Karena atasan akan datang silih berganti. Tetapi nilai-nilai dan etos kerja, akan abadi selamanya, sepanjang  baju seragam yang anda pakai masih dibeli dari tetes darah dan keringat rakyat. Wallahu‘alam.

 [ Simak tulisan ini dalam versi mp3 KLIK DISINI ]

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

Cerdas, Bersahaja dan Relijius

Cerdas, Bersahaja dan Relijius