Mutasi atau reshuffle
adalah hal biasa. Kebutuhan bagi pemimpin untuk menyegarkan suasana di
lingkungan kerja, demi target pencapaian yang menurut sang pemimpin perlu untuk
diraih. Mutasi bukan barang mainan yang jadi jurus maut manakala ada bawahan
yang dianggap “mbalelo” alias bandel.
Inilah hari-hari dimana kita melihat pola penyegaran ala walikota kita selalu
menjadi sorotan tajam. Entah karena pemilihan waktu yang dirasa kurang pas,
mendekati hari raya dan dalam suasana bulan suci ramadan, adalah satu sisi atau
aspek psikologis yang mungkin terabaikan. Lebaran adalah moment kita untuk
berbahagia bersama keluarga dan kerabat. Aspek ini nampaknya lalai diperhitungkan
oleh para penasehat dan lingkaran dalam walikota.
Aspek lain adalah
kapasitas dan kapabilitas mereka yang mendapat promosi jabatan. Meski adalah
hak prerogatif pemimpin untuk mengganti kabinetnya, mutasi adalah sarana
pemilihan figur sesuai filosofi “the
right man on the right place”. Memang untuk hal yang satu ini sangat
subjektif, akan tetapi jika pemimpin tidak punya parameter dalam menilai dan
menjatuhkan pilihan, maka kritikan akan bermuara pada faktor “like” and
“dislike”. Suka atau tidak suka hanya ada pada kantong safari sang pemimpin.
Banyak suara sumbang akan hal ini, tetapi kita harus objektif bahwa
profesionalisme kinerja bawahan tidak berasal dari bisik-bisik tetangga atau
gossip semata. Kerja bawahan yang terukur dapat dilihat dari skor atau nilai
mereka dari berbagai aspek yang menjadi tolak ukur penilaian tadi.
Tetapi sudahlah. Kita
harus positif thinking, ada hal lain yang amat urgent di kota Palopo untuk jadi
bahan pemikiran kita bersama. Masalah jabatan adalah masalah rezeki, garis
tangan yang sudah ditentukan dari Atas dan dari atasan. Masih tingginya angka
pengangguran, meningkatnya kasus kriminalitas di kalangan remaja serta daya
beli masyarakat kelas menengah bawah belum beranjak dari target pencapaian
adalah hal lain yang (harusnya) jadi keprihatinan kita bersama. Kita harus
bijak tanpa menghilangkan daya nalar dan kritis kita pada penguasa. Pun juga pemimpin
harus siap menerima kritikan sepanjang itu masih dalam koridor demokrasi yang
sehat.
Hikmah dari setiap mutasi
yang dilakukan adalah bekerjalah maksimal, senangkanlah hati rakyat melalui
kinerja yang pro masyarakat kelas bawah, orientasi “asal bapak senang” sudah
selayaknya dikubur dalam-dalam. Budaya kerja profesional adalah bagaimana tetes
keringat rakyat dibayar lewat prestasi dan melayani setulus hati. Birokrasi
yang masih bermental inlander alias penjajah sangat tidak layak lagi untuk diteruskan.
Jadilah birokrasi yang patuh pada aturan bukan pada atasan. Karena atasan akan
datang silih berganti. Tetapi nilai-nilai dan etos kerja, akan abadi selamanya,
sepanjang baju seragam yang anda pakai
masih dibeli dari tetes darah dan keringat rakyat. Wallahu‘alam.
[ Simak tulisan ini dalam versi mp3 KLIK DISINI ]