Pemilihan Kepala Daerah
Serentak di 264 wilayah dari 269 wilayah yang semula direncanakan pada tanggal
9 Desember 2015 lalu yang dianggap berhasil oleh beberapa kalangan memicu
pujian sekaligus harapan besar akan lahirnya arus perubahan di beberapa tempat
di wilayah bernama Republik Indonesia.
Republik ini terlalu lama
sakit oleh penindasan dari pemilu ke pemilu. Dari pemilihan daerah yang
berlangsung serentak di 264 wilayah tersebut sebagian besar berjalan mulus
tanpa hambatan berarti. Secara administrasi, Komisi Pemilihan Umum telah
melaksanakan tugasnya dengan cukup baik, meskipun, sebagaimana publik ketahui,
masalah kurangnya personil serta minimnya dana, adalah lagu lama yang kasetnya
selalu berulang terputar disetiap event ini dilaksanakan.
Esensi demokrasi
sesungguhnya dari Pilkada Serentak adalah bahwa hak rakyat untuk datang memilih
dengan perasaan bebas merdeka sebagai warga Negara, perasaan yang tanpa takut
pada atasan, merdeka dari intimidasi, politisasi jabatan birokrasi sang atasan,
serta ehemmm, …. politik tebar uang.
Melanggengkan kekuasaan
dengan cara-cara tersebut tadi adalah hal paling nista yang dilakukan banyak “inkumben”
dibeberapa tempat ditanah air. Tetapi beruntung, kedewasaan dan kematangan
berpikir dan berpolitik rakyat sudah semakin baik. Rakyat mungkin masih trauma
dengan Pemilihan Anggota Legislatif tahun lalu, dimana politisasi uang dan
hambur hadiah melahirkan anggota dewan yang cenderung bobrok, tidak amanah,
korup, sudah gitu bodoh pula.
Syukurlah Pilkada Serentak 9
Desember 2015 telah melahirkan semangat baru atas perubahan. Meskipun ada juga
“oknum rakyat” yang masih mau terima uang panas agar memilih calon tertentu.
Jumlah mereka memang tidak banyak, tetapi sejarah mencatat, bahwa sesungguhnya
bermain uang dan kekuasaan saat Pemilihan Kepala Daerah maupun juga Pemilihan
Kepala Desa beberapa waktu lalu, tidak melahirkan apa-apa.
Bentuk-bentuk kecurangan
dalam pilkada, kita tidak hanya dapat mengandalkan pada rakyat sebagai objek
tetapi pada Komisi Pemilihan Umum sebagai subjek. Pun juga pada kandidat dan
tim pemenangannya sebagai pemain yang berkompetisi. Maraknya intimidasi tidak
hanya pada rakyat yang akan memilih tetapi juga pada KPU sebagai wasit dan
panitia pertandingan sempat mencuat. Banyak inkumben alias petahana, melalui
tangan-tangan kekuasaannya mencoba bermain pada aspek psikologis dengan
“mengintimidasi” KPU lewat politik anggaran. Sesuatu yang kasat mata tetapi,
“sakitnya tuh disini” mengingat KPU sebagai penyelenggara pemilihan umum, tentu
memerlukan power dalam bentuk anggaran.
Tetapi, lebih dari semua
itu, keamanan yang terjaga, kondusif serta partisipasi publik yang masih cukup
tinggi patut diapresiasi. Kemenangan kandidat pada 9 Desember 2015 lalu adalah
kemenangan rakyat, kemenangan atas politisasi jabatan (bagi petahana),
intimidasi dan money politics yang masih saja terjadi. Selamat menikmati
perubahan, salam Indonesia Raya!
***
Oleh : ICCANK RAZCAL
Foto ilustrasi :