SiaranPers: Aliansi Seko Menggugat Tolak Investasi Ekstraktif di Pegunungan Seko Luwu Utara

MAKASSAR - Bertempat di Mr. Coffee, Aliansi Seko Menggugat (ASM) menggelar jumpa pers dihadiri beberapa wartawan media cetak maupun elektronik Kamis siang (03/03/2016) kemarin.

Aliansi ini terdiri dari WALHI Sulsel, AMAN Sulsel, LBH Makassar, PBHI Sulsel, Jurnal Celebes, KONTRAS Sulawesi, Perkumpulan WALLACEA, AMAN Tana Luwu, dan YBS Palopo.

Dalam rilis yang diterima redaksi Deteksi News, ada empat poin yang menjadi tuntutan ASM. Salah satunya adalah meminta Pemerintah Kabupaten Luwu Utara untuk segera mencabut izin pengelolaan tambang di wilayah Seko Luwu Utara.

Bata Manurung, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Luwu menjelaskan AMAN beserta mitra koalisinya menggugat pemerintah atas investasi ekstraktif di Seko yang bisa mengancam ekosistem, pencemaran sungai-sungai yang berhulu di Pegunungan Seko serta adanya upaya mencaplok tanah atau hak ulayat masyarakat disana.

Untuk itu, pihaknya dengan tegas menyatakan sikap menolak segala bentuk investasi yang bisa merugikan masyarakat setempat, baik dari segi kelestarian lingkungan, hak ulayat serta dampak lain seperti budaya dan kearifan lokal yang tergerus akibat intimidasi aparat dan pemerintah daerah yang tidak memberi penjelasan secara transparan akan dampak negatif usaha tambang dari eksploarasi di Pegunungan Seko.

Berikut, kutipan lengkap siaran pers Aliansi Seko Menggugat.


PRESS RELEASE

Wilayah Seko dikenal cukup kaya akan kekayaan sumber daya energi dan mineral, terutama biji besi dan emas. Potensi ini juga menjadikan Seko sebagai daerah incaran perusahaan pertambangan (besar atau kecil) yang dapat menyebabkan perubahan bentang alam dan kerusakan ekosistem di Dataran Tinggi Tokalekaju ini. Dampak lain, mengancam hajat hidup masyarakat di sekitarnya.

Seko merupakan sebuah wilayah yang didiami oleh Masyarakat Adat Seko yang secara administratif berada dalam wilayah Kecamatan Seko Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan, dengan luas ± 2.109,19 Km2 (± 210,919 ha), dengan 12 desa berstatus definitif. Penduduknya berjumlah 12.405 orang, terdiri dari 6.269 laki-laki dan 6.244 perempuan. Topografi nya yang sebagian besar berbukit-bukit dengan ketinggian antara 1.113 mdpl sampai dengan 1.485 mdpl.

Adanya kebijakan penyederhanaan dan kemudahan perizinan melalui Pelayanan Terpadu Perizinan Satu Pintu (PTSP) berdampak pada cepatnya proses pemberian izin kepada perusahaan pertambangan yang ingin beroperasi. Selain itu, dengan alasan pemasukan untuk Pendapatan Asli Daerah (PAD), semakin memperkuat alasan bagi Pemerintah Daerah untuk mempercepat memproses pemberian Izin Usaha Pertambangan (IUP) kepada perusahaan pertambangan yang ingin berinvestasi.

Sampai saat ini Pemerintah Kabupaten Luwu Utara masih terus memaksakan agar perusahaan-perusahaan tambang emas dan biji besi yang sudah memiliki izin eksplorasi bisa beroperasi dengan mendapatkan izin eksploitasi, mengabaikan penolakan tegas dari masyarakat selama ini.

Berdasarkan data yang ada, saat ini terdapat 10 perusahaan tambang yang mendapat izin eksplorasi dari Bupati Lutra sejak tahun 2011, dimana 6 diantaranya berlokasi di Kecamatan Seko seluas 121.390,22 hektar (Peta HGU – Hasil Digitasi Peta WIUP) atau berdasarkan data Peta WIUP mencapai 90,937 hektar.

Persoalannya, masyarakat secara umum tidak pernah mendapatkan informasi yang detail dan transparan akan dampak yang akan ditimbulkan jika perusahaan tambang tersebut beroperasi. Bahkan sebelum memperoleh izin eksplorasi, masyarakat sampai saat ini belum pernah mendapatkan pemberitahuan atau dimintai persetujuannya terkait izin eksplorasi tersebut. Warga baru mengetahuinya setelah pihak perusahaan memasang papan pengumuman penyusunan AMDAL.

Beroperasinya perusahaan tambang di Wilayah Seko juga akan menjadi ancaman bagi ekosistem di Dataran Tinggi Tokalekaju dan bencana ekologis bukan hanya di Kabupaten Luwu Utara, akan tetapi juga di tiga provinsi lainnya, yaitu Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara, akibat terjadinya perubahan bentangan alam dan pencemaran sungai-sungai yang berhulu di wilayah Seko. Padahal, air dari sungai Seko ini mengalir ke daerah lain dan menjadi sumber air bagi masyarakat untuk keperluan makan, minum, mencuci dan mandi.
Tidak hanya tambang, di wilayah Seko juga saat ini terdapat izin HGU Perkebunan (PT. Seko Fajar) dan rencana pembangunan PLTA yang akan dibangun oleh PT. Seko Power Prima dan PT. Seko Power Prada.
Penguasaan wilayah yang masuk konsesi/HGU perusahaan tambang dan rencana pembangunan PLTA tersebut secara otomatis akan menghilangkan hak atas wilayah kelola Masyarakat Adat Seko yang notabene sudah mendapat pengakuan dari Pemkab Luwu Utara melalui SK Bupati.

Dampak yang akan dirasakan masyarakat Seko selain secara sosial ekonomi juga secara budaya. Sumber penghasilan masyarakat yang selama ini berasal dari hutan, sawah, kebun, pengembalaan, dan hasil tangkapan dari sungai-sungai terancam dengan adanya limbah. Secara budaya, akan terjadi perubahan tatanan sosial dalam masyarakat dari masyarakat yang mengutamakan kebersamaan dan kegotong-royongan menjadi individualis dan materialistik. Lebih jauh ditakutkan bisa terjadi konflik sosial antar masyarakat karena adanya pro-kontra terhadap keberadaan beragam investasi tersebut. Hal ini akan berdampak pada pudarnya kearifan adat dan budaya Masyarakat Adat Seko.

Hal lain, bendungan PLTA di Amballong akan menghilangkan sawah produktif masyarakat di Sae seluas 25 Ha, sehingga dikhawatirkan bisa berdampak pada terjadinya krisis pangan di daerah tersebut.
Dengan berbagai kondisi tersebut, kami dari Aliansi Seko Menggugat (ASM), terdiri dari sejumlah NGO di Makassar dan Luwu, antara lain Perkumpulan Wallacea, WALHI Sulsel, LBH Makassar, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tana Luwu, AMAN Sulawesi Selatan, Kontras Sulawesi, Jurnal Celebes, YBS Palopo dan PBHI Sulsel, menyatakan sikap sebagai berikut:

1. Meminta Pemerintah Daerah Luwu Utara untuk segera mencabut izin pengelolaan tambang di wilayah Seko karena menjadi ancaman bagi ekosistem di Dataran Tinggi Tokalekaju dan bencana ekologis bukan hanya di Kabupaten Luwu Utara akan tetapi juga di tiga provinsi lainnya, yaitu Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara.

2. Meminta Pemerintah Daerah Luwu Utara untuk memerintahkan penghentian segala aktivitas yang berkaitan dengan pembangunan PLTA yang dikerjakan oleh PT. Seko Power Prima dan PT. Seko Power Prada.

3. Dalam setiap rencana pembangunan di wilayah yang di dalamnya berdomisili masyarakat adat, pemerintah tidak boleh menbagaikan prinsip FPIC (Free and Prior Informed Concent) sebagai salah satu instrument dalam hukum internasional untuk melindungi hak-hak orang atau komunitas yang potensial terkena dampak pengaruh suatu proyek pembangunan.

4. Menghentikan segala bentuk intimidasi kepada warga masyarakat adat Seko Padang, baik itu dilakukan oleh pihak pemerintah, perusahaan ataupun aparat kepolisian.

Terima kasih!


Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

Cerdas, Bersahaja dan Relijius

Cerdas, Bersahaja dan Relijius