Oleh: Stanley Adi Prasetyo
BANYAK
pertanyaan terkait keberadaan wartawan menjelang Pilkada serentak di beberapa
daerah seluruh indonesia? Bolehkah mereka bergabung
ke salah satu partai politik peserta pilkada ataupun sekadar menjadi anggota
tim sukses baik individu, partai maupun pasangan calon bupati dan wakil bupati?
Pertanyaan ini betul-betul mengusik kita semua.
Jelas wartawan adalah bagian dari warga negara yang haknya untuk berpolitik
dijamin secara penuh oleh negara. Pasal 28C Ayat (2) konsitusi menjamin hak
setiap warganegara untuk ikut dalam memperjuangkan haknya, baik dengan memilih
atau pun memajukan diri sendiri dengan menyatakan bahwa “setiap orang berhak
untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk
membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya”.
Jaminan atas hak untuk turut serta dalam pemerintahan secara lebih gamblang dicantumkan dalam Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak asasi Manusia. Pasal 43Ayat (1) UU No 39 Tahun 1999 menyatakan, “Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”. Sedangkan pada Ayat (2) dikatakan, “Setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau dengan perantaraan wakil yang dipilihnya, dengan bebas, menurut cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan”. Ketika seseorang memilih bekerja menjadi wartawan, sesungguhnya ia secara total telah memilih untuk menyerahkan diri guna mengabdi pada kepentingan orang lain atau untuk kepentingan publik secara luas. Agak mirip seperti pekerjaan seorang dokter, polisi atau tentara; pekerjaan seorang wartawan menuntut setiap saat dirinya berada di suatu tempat, kapan dan di mana saja.
Pekerjaan wartawan adalah sebuah profesi dalam
rangka memenuhi hak atas informasi masyarakat yang dijamin oleh negara berupa
kebebasan pers. Semua pihak dilarang menghalang-halangi pekerjaan wartawan
untuk mencari, mengolah, dan menyebar-luaskan informasi.
Di
Amerika jaminan atas hal ini dinyatakan melalui Amandeman Pertama Konstitusi
Amerika Serikat. Di Indonesia selain dinyatakan dalam konstitusi dan sejumlah
UU lain, jaminan ini juga dinyatakan secara eksplisit dalam UU No. 40 Tahun
1999 tentang Pers. Kode Etik Dengan kebebasan yang tak terbatas, tentu saja
wartawan bukan tak mungkin akan mengganggu hak-hak asasi orang lain. Agar tak
mengganggu dan merugikan hak orang lain dan demi menjamin kemerdekaan pers
serta memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar maka para
wartawan bersepakat untuk membuat norma dan aturan berlandaskan moral dan etika
yang dikenal sebagai Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Dalam Pasal 11 KEJ dinyatakan
bahwa “wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat,
berimbang dan tidak beritikad buruk”.
Yang
jadi pertanyaan lebih lanjut, apakah seorang wartawan yang memilih bergabung ke
salah satu partai peserta Pilkada ataupun sekadar menjadi anggota tim sukses
baik individu, partai maupun pasangan bupati dan wakil bupati masih bisa terus
menulis sebagai media?
Di kalangan wartawan ada yang menyatakan, hal itu tergantung dengan produk
tulisan yang dibuatnya dan juga penugasannya. Sebagian kelompok wartawan yang
memperbolehkan seorang wartawan menjadi anggota tim sukses menyatakan bahwa
bisa saja dengan menugaskan wartawan untuk membuat liputan lain yang tidak
berhubungan dengan issue yang terkait langsung dengan kepentingannya sebagai
tim sukses. Namun ada juga kelompok wartawan yang berprinsip menjaga secara
ketat independensi wartawan dengan menolak bergabung kepada partai ataupun
menjadi tim sukses. Kelompok ini menyatakan semua berita, apapun topik
liputannya, bisa saja disangkutpautkan dengan kepen-tingan wartawan saat
meliput dan menulis karya jurnalistiknya.
Jadi
pada prinsipnya seorang wartawan sebaiknya tidak terlibat dalam politik praktis
(menjadi caleg, menjadi calon anggota DPD, bergabung ke partai, atau pun
menjadi tim sukses). Kenapa seperti demikian?? Setiap wartawan pada dasarnya
mengusung tugas jurnalistik yang berat, yaitu mengungkapkan sebuah kebenaran.
Kebenaran dalam jurnalistik bukanlah kebenaran yang bersifat mutlak tetapi
kebenaran yang bersifat fungsional, yakni kebenaran yang diyakini pada saat itu
dan terbuka untuk koreksi.
Komitmen
utama jurnalisme sendiri adalah untuk mengabdi pada kepentingan publik.
Kepentingan pribadi, kelompok atau kepentingan pemilik media harus selalu
ditempatkan di bawah kepentingan publik. Ada banyak contoh bagaimana media pers
pernah dijadikan sebagai alat propaganda untuk mendukung kelompok, individu
ataupun sebuah rezim pemerintahan. Pers banyak digunakan untuk menyerang dan
menjatuhkan pihak lawan. Demikian juga ada banyak penguasa yang menggunakan
media untuk melanggengkan kekuasaannya.
Barangkali kita masih ingat bagaimana tabloid Demokrat (milik PDI Perjuangan)
pada awal 2000 memuat foto rekayasa Ketua MPR RI Amien Rais sebagai seorang
drakula menakutkan, lengkap dengan taring dan tetesan darahnya hingga tabloid
Amanat (milik PAN) perlu melawannya. Kedua media tersebut tak berusia panjang
dan mati hanya beberapa bulan setelah efuoria Pemilu 1999 usai. Kekuatan pers
antara lain melalui proses pembingkaian (framing), teknik pengemasan fakta,
penggambaran fakta, pemilihan angle, penambahan atau pengurangan foto dan
gambar dan lain-lain. Dengan demikian, sebetulnya media punya potensi untuk jadi
peredam atau pun pendorong konflik. Media bisa memperjelas sekaligus
memper-tajam konflik atau sebaliknya: mengaburkan dan mengeleminirnya.
Media bisa merekonstruksi realitas, tapi juga bisa menghadirkan hiperealitas. Wartawan pada hakekatnya harus selalu mengembangkan sikap kritis, peka, ingin mengetahui yang besar pada setiap persoalan dan peristiwa. Seorang wartawan se-baiknya setiap hari selalu membaca berbagai koran, majalah dan buku terbitan dalam dan luar negeri. Semuanya dibaca bukan karena memang mendesak untuk dibaca, tapi untuk mengantisipasi agar tak ada berita penting yang lolos dari pengamatan. Pada dasarnya wartawan adalah orang yang mencintai pekerjaannya dengan sepenuh hati. Artinya, ia akan selalu berupaya membuat karya sesempurna mungkin.
Dalam persoalan yang berhubungan dengan orang atau pihak lain, wartawan akan berhati-hati untuk tidak membuat pemberitaan yang bisa melukai orang lain. Dalam menulis atau menyiarkan informasi, wartawan akan selalu berusaha memberikan tempat terhadap suara yang beragam. Wartawan juga akan menjaga independensinya dari intervensi atau pengaruh pihak lain, khusus-nya terkait kepentingan kekuasaan dan uang. Independensi tidak sama artinya dengan tidak memihak. Pemihakan wartawan bukanlah pada orang atau kelompok, tetapi pada kebenaran, keadilan, dan perdamaian.
Media bisa merekonstruksi realitas, tapi juga bisa menghadirkan hiperealitas. Wartawan pada hakekatnya harus selalu mengembangkan sikap kritis, peka, ingin mengetahui yang besar pada setiap persoalan dan peristiwa. Seorang wartawan se-baiknya setiap hari selalu membaca berbagai koran, majalah dan buku terbitan dalam dan luar negeri. Semuanya dibaca bukan karena memang mendesak untuk dibaca, tapi untuk mengantisipasi agar tak ada berita penting yang lolos dari pengamatan. Pada dasarnya wartawan adalah orang yang mencintai pekerjaannya dengan sepenuh hati. Artinya, ia akan selalu berupaya membuat karya sesempurna mungkin.
Dalam persoalan yang berhubungan dengan orang atau pihak lain, wartawan akan berhati-hati untuk tidak membuat pemberitaan yang bisa melukai orang lain. Dalam menulis atau menyiarkan informasi, wartawan akan selalu berusaha memberikan tempat terhadap suara yang beragam. Wartawan juga akan menjaga independensinya dari intervensi atau pengaruh pihak lain, khusus-nya terkait kepentingan kekuasaan dan uang. Independensi tidak sama artinya dengan tidak memihak. Pemihakan wartawan bukanlah pada orang atau kelompok, tetapi pada kebenaran, keadilan, dan perdamaian.
Profesi wartawan sebagai orang yang piawai memburu dan menulis berita tentu tak
semua orang dapat melakukannya. Wartawan membutuhkan seperangkat penge-tahuan
dan metode tertentu dalam meliput kejadiannya. Karena itulah pekerjaan wartawan
juga merupakan sebuah pekerjaan intelektual. Pekerjaan seorang wartawan jelas
bukan hanya pekerjaan teknis. Berita yang disajikan dalam media, misalnya,
bukanlah repro duksi mekanis dari sebuah peristiwa, melainkan hasil pergulatan
dan dialektika yang intens antara peristiwa tersebut dengan persepsi dan
kesadaran sang wartawan. Dengan berpegangan pada segi teknis tentang penyusunan
berita, seorang wartawan harus bergulat dengan beberapa segi lain yang
melibatkan tanggung jawab sosial dan integritas intelektualnya. Antara lain
bagaimana menyampaikan berita itu sehingga sanggup men-cerminkan keadaan
sebenarnya tetapi sekaligus mempertimbangkan manfaat dan kebaikan yang diberi-
kan oleh pemberitaan itu terhadap masyarakat pembaca, sambil memberi perspektif
dan warna pemberitaan yang mencerminkan nilai yang dianut oleh wartawan atau
media tempatnya bekerja.
Jadi
independensi adalah faktor penting bagi wartawan dalam menjalankan profesinya.
Wartawan yang independen adalah wartawan yang mandiri, merdeka dan tak
bergantung kepada pihak mana pun. Ia punya sikap mandiri untuk mempertahankan
dan menyampai-kan prinsip-prinsip kebenaran. Bersikap independen bukan berarti
netral atau berimbang. Berimbang maupun tidak berat sebelah (fairness) adalah
metode, bukan tujuan. Keseimbangan bisa menimbulkan distorsi bila dianggap
sebagai tujuan. Kebenaran bisa kabur di tengah liputan yang berimbang. Fairness
juga bisa disalahmengerti bila dianggap sebagai tujuan. Kunci independensi bagi
jurnalis adalah setia pada kebenaran. Kesetiaan inilah yang membedakan wartawan
dengan juru penerangan atau propaganda. Independensi ini juga yang harus
dijunjung tinggi di atas identitas lain seorang wartawan.
Karena itu hanya ada
dua pilihan bagi seorang wartawan yang bergabung ke salah satu partai peserta
pilkada atau sekadar menjadi anggota tim sukses baik individu, partai maupun
pasangan bupati dan wakil bupati yaitu non-aktif atau mengundurkan diri.
Pilihan non-aktif adalah pilihan yang paling lunak bagi wartawan yang bisa
berupa inisiatif untuk mengajukan cuti panjang selama masa kampanye sampai masa
pengesahan suara dan masa pelantikan anggota parlemen yang baru. Adapun pilihan
mengundurkan diri secara permanen dari profesi kewartawanan adalah merupakan
aturan main yang lebih tegas dan lebih dianjurkan. Alasan untuk hal ini adalah
karena dengan menjadi caleg ataupun anggota tim sukses, seorang wartawan pada
hakekatnya telah memilih untuk berjuang demi kepentingan politik pribadi atau
golongannya. Padahal tugas utama jurnalis adalah mengabdi kepada kebenaran dan
kepentingan publik. Dengan demikian, ketika seorang wartawan memutuskan menjadi
caleg, calon DPD ataupun anggota tim sukses, sebenarnya ia telah kehilangan
legitimasinya untuk kembali pada profesi jurnalistik.
*) Penulis adalah anggota
Dewan Pers lahir di Malang Jawa Timur 20 Juni 1959
Foto courtesy : Antara